*** TheMOONLIGHT ***
From the Chicken Soup for the Cat & Dog Lover's Soul:
From the Chicken Soup for the Cat & Dog Lover's Soul:
Hari Minggu pagi biasanya merupakan hari yang cukup santai di kebanyakan rumah tangga, tapi di rumah kami di Ogilvie, Minnesota, jelas keadaannya tidak seperti itu pada masa akhir 1920-an.
Acara kebaktian gereja dimulai pada jam setengah sepuluh pagi. Ibuku menjadi pemain organ di sana, jadi ia harus datang pagi-pagi. Itu berarti kami semua, anak-anaknya ini, mesti sudah mandi, berpakaian, dengan rambut tersisir rapi pada saat ibu meninggalkan rumah.
Seperti sudah bisa diduga, semua orang serba tergesa-gesa untuk memastikan masing-masing siap pada waktunya. Itu saja sudah cukup menyulitkan, tapi suatu hari kami mendapat masalah baru---anjing kami, Brownie.
Setiap pagi Brownie dibukakan pintu oleh siapa saja yang paling dulu bangun di rumah. Kalau kami memanggilnya masuk, biasanya ia akan langsung berlari-lari menghampiri. ..tapi pada hari Minggu itu, ia menolak masuk.
Kami memanggil-manggil dan membujuknya lama sekali, tapi entah di mana ia berada. Karena tak bisa menemukan anjing kami yang menghilang itu, akhirnya kami menyerah dan berangkat ke gereja, meninggalkan Brownie di luar sana, entah di mana.
Tiba di gereja, kami duduk, sementara Ibu sudah siap di depan organ. Setelah beberapa lagu pujian dan doa-doa dilantunkan, Pendeta memulai khotbahnya. Kami, anak-anak, berusaha duduk tenang seperti yang diperintahkan, dan tidak bergerak-gerak gelisah. Tapi ketika Pendeta semakin bersemangat berkhotbah, aku merasa mendengar sesuatu yang tidak biasa. Tapi sepertinya orang-orang lain tidak mendengar. Namun, kemudian suara itu terdengar lagi, lebih keras. Seperti suara menggaruk-garuk di pintu gereja. Kami, anak-anak, saling pandang tanpa bersuara dan berusaha menawan tawa. Kemudian suara menggaruk-garuk itu diikuti oleh suara lolongan anjing kesepian yang menyedihkan. Semua orang dewasa pura-pura tidak mendengar; mereka mencondongkan tubuh di bangku gereja supaya bisa mendengar setiap patah kata yang diucapkan Pendeta. Tapi kami, anak-anak, mengenali lolongan itu. Hanya satu anjing yang mempunyai lolongan seperti itu di lingkungan kami.
Lolongan itu terus terdengar, dan Pendeta berhenti berkhotbah sejenak, sambil mengerutkan kening karena kesal. Ia tidak mau bersaing dengan suara lolongan itu, jadi ia menyuruh penjaga gereja membuka pintu dan mengusir si anjing. Tapi Brownie rupanya lebih gesit daripada si penjaga gereja. Begitu pintu dibuka, anjing kami itu melompat masuk dengan ekspresi penuh kemenangan. Ia melangkah di lorong dengan tenang, di bawah tatapan sekian puluh pasang mata yang tercengang dari bangku pengunjung dan sang Pendeta sendiri. Begitu tiba di tempat Ibu duduk di depan organ, Brownie langsung menghempaskan diri dan duduk tenang. Terdengar gumaman di seluruh ruangan gereja, ada juga yang tersenyum dan mengangguk-angguk. Sang Pendeta, yang sudah bertekad tidak mau mengacuhkan pengganggu yang tidak biasa ini, melanjutkan khotbahnya.
Hari Minggu berikutnya, kebetulan kami tidak mengikuti kebaktian pagi---walau ini jarang terjadi. Tapi Brownie tidak tahu tentang perubahan jadwal ini. Di kebaktian sore, kami baru mendengar apa yang terjadi. Pagi tadi Brownie membuat keributan di depan gereja, hingga sekali lagi ia diperbolehkan masuk. Kembali ia melangkah di lorong, hingga tiba di tempat pemain organ yang baru hendak bermain. Brownie berdiri tertegun sejenak, memandangi si pemain organ wanita. Setelah yakin seratus persen bahwa pemain organ itu bukan Ibu, ia kembali ke pintu gereja dan jelas-jelas menunjukkan sikap tidak tertarik untuk mengikuti kebaktian itu.
Masih banyak hari-hari Minggu di mana Brownie lagi-lagi menunjukkan sikap tenang selama kebaktian dan sekaligus memperlihatkan loyalitasnya terhadap keluarga kami. Anda tentu bisa membayangkan betapa tidak nyamannya situasi ini bagi ibu kami. Ada beberapa orang yang tidak begitu senang melihat ada anjing di dalam gereja. Dan setiap kali kami mempunyai pendeta baru, Ibu mesti memberikan penjelasan padanya tentang anjing kami yang tidak biasa itu. Karena Brownie hidup hingga mencapai usia sembilan belas tahun, cukup banyak pendeta yang jadi terbiasa kalau khotbah mereka diinterupsi oleh anjing kecil berbulu coklat itu.
Tak lama setelah kematian Brownie, pendeta kami datang berkunjung. Setelah memberi penghiburan pada kami atas kehilangan yang kami rasakan, ia berkata, "Di pintu surga, yakinlah bahwa Brownie pasti akan menggaruk-garuk di pintunya, dan begitu pintu itu dibuka, dia akan diberi tempat persis di depan, dengan para penghuni surga terbaik di sana."
Evelyn Olson.
Acara kebaktian gereja dimulai pada jam setengah sepuluh pagi. Ibuku menjadi pemain organ di sana, jadi ia harus datang pagi-pagi. Itu berarti kami semua, anak-anaknya ini, mesti sudah mandi, berpakaian, dengan rambut tersisir rapi pada saat ibu meninggalkan rumah.
Seperti sudah bisa diduga, semua orang serba tergesa-gesa untuk memastikan masing-masing siap pada waktunya. Itu saja sudah cukup menyulitkan, tapi suatu hari kami mendapat masalah baru---anjing kami, Brownie.
Setiap pagi Brownie dibukakan pintu oleh siapa saja yang paling dulu bangun di rumah. Kalau kami memanggilnya masuk, biasanya ia akan langsung berlari-lari menghampiri. ..tapi pada hari Minggu itu, ia menolak masuk.
Kami memanggil-manggil dan membujuknya lama sekali, tapi entah di mana ia berada. Karena tak bisa menemukan anjing kami yang menghilang itu, akhirnya kami menyerah dan berangkat ke gereja, meninggalkan Brownie di luar sana, entah di mana.
Tiba di gereja, kami duduk, sementara Ibu sudah siap di depan organ. Setelah beberapa lagu pujian dan doa-doa dilantunkan, Pendeta memulai khotbahnya. Kami, anak-anak, berusaha duduk tenang seperti yang diperintahkan, dan tidak bergerak-gerak gelisah. Tapi ketika Pendeta semakin bersemangat berkhotbah, aku merasa mendengar sesuatu yang tidak biasa. Tapi sepertinya orang-orang lain tidak mendengar. Namun, kemudian suara itu terdengar lagi, lebih keras. Seperti suara menggaruk-garuk di pintu gereja. Kami, anak-anak, saling pandang tanpa bersuara dan berusaha menawan tawa. Kemudian suara menggaruk-garuk itu diikuti oleh suara lolongan anjing kesepian yang menyedihkan. Semua orang dewasa pura-pura tidak mendengar; mereka mencondongkan tubuh di bangku gereja supaya bisa mendengar setiap patah kata yang diucapkan Pendeta. Tapi kami, anak-anak, mengenali lolongan itu. Hanya satu anjing yang mempunyai lolongan seperti itu di lingkungan kami.
Lolongan itu terus terdengar, dan Pendeta berhenti berkhotbah sejenak, sambil mengerutkan kening karena kesal. Ia tidak mau bersaing dengan suara lolongan itu, jadi ia menyuruh penjaga gereja membuka pintu dan mengusir si anjing. Tapi Brownie rupanya lebih gesit daripada si penjaga gereja. Begitu pintu dibuka, anjing kami itu melompat masuk dengan ekspresi penuh kemenangan. Ia melangkah di lorong dengan tenang, di bawah tatapan sekian puluh pasang mata yang tercengang dari bangku pengunjung dan sang Pendeta sendiri. Begitu tiba di tempat Ibu duduk di depan organ, Brownie langsung menghempaskan diri dan duduk tenang. Terdengar gumaman di seluruh ruangan gereja, ada juga yang tersenyum dan mengangguk-angguk. Sang Pendeta, yang sudah bertekad tidak mau mengacuhkan pengganggu yang tidak biasa ini, melanjutkan khotbahnya.
Hari Minggu berikutnya, kebetulan kami tidak mengikuti kebaktian pagi---walau ini jarang terjadi. Tapi Brownie tidak tahu tentang perubahan jadwal ini. Di kebaktian sore, kami baru mendengar apa yang terjadi. Pagi tadi Brownie membuat keributan di depan gereja, hingga sekali lagi ia diperbolehkan masuk. Kembali ia melangkah di lorong, hingga tiba di tempat pemain organ yang baru hendak bermain. Brownie berdiri tertegun sejenak, memandangi si pemain organ wanita. Setelah yakin seratus persen bahwa pemain organ itu bukan Ibu, ia kembali ke pintu gereja dan jelas-jelas menunjukkan sikap tidak tertarik untuk mengikuti kebaktian itu.
Masih banyak hari-hari Minggu di mana Brownie lagi-lagi menunjukkan sikap tenang selama kebaktian dan sekaligus memperlihatkan loyalitasnya terhadap keluarga kami. Anda tentu bisa membayangkan betapa tidak nyamannya situasi ini bagi ibu kami. Ada beberapa orang yang tidak begitu senang melihat ada anjing di dalam gereja. Dan setiap kali kami mempunyai pendeta baru, Ibu mesti memberikan penjelasan padanya tentang anjing kami yang tidak biasa itu. Karena Brownie hidup hingga mencapai usia sembilan belas tahun, cukup banyak pendeta yang jadi terbiasa kalau khotbah mereka diinterupsi oleh anjing kecil berbulu coklat itu.
Tak lama setelah kematian Brownie, pendeta kami datang berkunjung. Setelah memberi penghiburan pada kami atas kehilangan yang kami rasakan, ia berkata, "Di pintu surga, yakinlah bahwa Brownie pasti akan menggaruk-garuk di pintunya, dan begitu pintu itu dibuka, dia akan diberi tempat persis di depan, dengan para penghuni surga terbaik di sana."
Evelyn Olson.
Sekilas tentang penulis:
Evelyn Olson menghabiskan sebagian besar hidupnya yang sudah delapan puluh tujuh tahun di dekat Ogilvie, sebuah kota kecil di Minnesota tengah. Ia lulusan dari Ogilvie School dan St. Cloud University. Selama tiga puluh lima tahun, ia mengajar di sekolah-sekolah pedesaan di dekat tempat tinggalnya, lalu selama sepuluh tahun berikutnya ia mengajar anak-anak cacat di Ogilvie School. Ketika pensiun, ia mendapat anugerah dan penghargaan dari Minnesota Board of Education atas jasanya mengajar selama empat puluh tujuh tahun. Ia mempunyai banyak binatang peliharaan dalam hidupnya, tapi yang menjadi kesayangannya adalah Brownie. Mungkin ini karena masa hidup Brownie yang panjang serta kasih sayangnya pada Evelyn dan seluruh keluarganya.
No comments:
Post a Comment