Selasa, 26 Januari 2009 (Tahun Baru Imlek)
Thio Tiong Gie, Benteng Terakhir Wayang Potehi Semarang
Hanya Punya Satu Asisten, Anak Lebih Suka Barongsai
Setengah abad mendalang, dia masih saja hidup di petak sempit sebuah gang buntu. Padahal, dia mewarisi satu kesenian penting Tionghoa yang kini sudah menjadi bagian budaya Indonesia.
ANTON SUDIBYO, Semarang
THIO Tiong Gie atau Teguh Chandra Irawan adalah satu-satunya dalang wayang potehi di Semarang, bahkan Jawa Tengah. Secara nasional pun, ketokohan Tiong Gie dalam jagat pakeliran potehi diakui. Sulit dicari tandingannya.
Kini umurnya sudah 76 tahun. Namun, kemahiran dia mendalang seolah tak luntur. Intonasi, aksen, dan cengkok nyanyiannya meliuk-liuk indah. Keterampilan dia didukung penguasaan dialek Hokkian yang mumpuni. Karena itu, dia paham betul letak penekanan kata dan cara menghayatinya.
Meski begitu, Tiong Gie harus berjuang mempertahankan potehi yang nyaris hilang. Tidak hanya disebabkan dia satu-satunya dalang dan sudah uzur. Namun, tutur dalang yang bermukim di Jalan Petunduhan, Kampung Pesantren, Kelurahan Purwodinatan, Semarang Tengah, tersebut, potehi memang sedang luntur.
Menurut dia, kondisi itu tak lepas dari sikap represif pemerintah Orde Baru yang melarang segala sesuatu yang berbau Tionghoa. Ditekan selama 32 tahun, pelestari potehi pun sulit tumbuh.
Tiong Gie hanya punya seorang asisten setia, Oei Tjiang Hwat. "Anak-anak saya lebih suka barongsai. Ya bagaimana? Dalang memang tidak menguntungkan secara finansial," terangnya.
Meski begitu, semangat Tiong Gie tampaknya tak ikut luntur. Pribadi yang keras terlihat dari suaranya yang tegas. Daya ingatnya juga kuat. Tak berlebihan jika dia mengaku sebagai ahli sejarah dan pengajar, selain menjadi dalang.
Menurut dia, potehi sebetulnya berarti wayang kantong. Poo berarti kain, tay berarti kantong, dan hie berarti wayang. Badan berupa kantong kain sekaligus menjadi baju si tokoh wayang yang berwarna-warni dan berpola indah. Di bagian atas kantong ada kepala wayang yang terbuat dari kayu dan dicat dengan berbagai mimik berbeda. Ada yang tampak baik hati, ada pula yang bengis sekali.
Pementasan wayang potehi menggunakan panggung berukuran sekitar 3 x 3 meter. Di dalamnya ada dua orang yang memainkan wayang dengan menggunakan jari tangan. Kemudian, di belakangnya duduk para penabuh musik. Setidaknya, ada empat orang yang memainkan alat musik. Mereka, antara lain, memainkan siauw ku (kecer besar), er hu (musik gesek mirip rebab), dong kauw (semacam ketipung), dan trompet.
Lakonnya sangat beragam. Salah satu yang terkenal adalah Sie Jin Kwie. Juga ada cerita menarik lain, seperti Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, dan Poei Sie Giok. Cerita-cerita itu dimainkan dengan dukungan seratus karakter tokoh wayang.
Pementasan wayang tersebut berbeda wayang purwa atau wayang golek Sunda yang selesai dalam satu malam. Episode yang dimainkan dalang wayang potehi mirip cerita bersambung, yakni panjang. Idealnya, cerita wayang potehi menghabiskan waktu sekitar 1,5 bulan dan dimainkan selama empat jam sehari.
Menurut bapak tujuh anak sekaligus kakek 16 cucu tersebut, wayang potehi lahir dari penderitaan empat terpidana pada zaman Dinasti Siong Theng, 3 ribu tahun lalu. Dikisahkan, Raja Tiu Ong yang bengis memutuskan untuk menghukum mati empat narapidana.
Merasa nyawa mereka berada di ujung tanduk, tiga orang di antaranya menjadi sedih, tak mau makan dan tidur, serta selalu menangis. Yang seorang ternyata cukup tabah menghadapi kenyataan. Dia menyarankan lebih baik bergembira sebelum mati kepada teman-temannya. Mereka lantas berinisiatif mencari sesuatu di dalam penjara untuk bunyi-bunyian. Ada tutup panci yang dipakai sebagai kecer dan dijadikan gembreng serta tangkai sapu bambu dengan pecahan beling yang dibuat suling.
Alat-alat tersebut dipukul-pukulkan untuk mengiringi cerita kebaikan raja-raja yang bengis. Anehnya, oleh para narapidana tersebut, raja yang bengis itu dikisahkan baik dan bijaksana.
Narapidana tabah tersebut memakai sepotong kain bekas dengan salah satu ujung diikat menjadi kepala. Ujung lainnya dijadikan badan boneka raja. Permainan itu akhirnya terdengar oleh Raja Tiu Ong. Raja yang senang dengan cerita tersebut lalu membebaskan mereka. Dalam hikayat, Tiu Ong belakangan menjadi raja yang betul-betul arif.
Bisa jadi nasib Tiong Gie sama dengan para narapidana itu. Dia masih terus memainkan wayang potehi meskipun berada di bawah tekanan rezim yang bengis. Entah sampai kapan. (*/dos)
No comments:
Post a Comment